Surakarta Kota Budaya

Selamat Datang Di Kota Budaya Surakarta Mari kita Kembangkan dan Lestarikan Budaya Daerah Surakarta

Senin, 19 April 2010

Perajin Batik di Solo Berusaha Bertahan

Sejumlah industri skala kecil dan menengah (IKM) mulai terkena imbas pemberlakuan kawasan perdagangan bebas China dan ASEAN {China-ASEAN free trade area/CAFTA), seperti yang terjadi pada industri batik di Kota Solo. Meski hingga saat ini para perajin batik, terutama batik cap dan tulis, belum begitu merasakan dampak negatif dari pemberlakuan CAFTA, namun kekhawatiran masih menghantui mereka.

"Meski saat ini kami masih bertahan, namun dalam jangka waktu satu tahun mendatang saya tidak tahu. Se*bab. saat ini saja China sudah memproduksi produk tekstil ber-motif batik. Bukan itu saja, bahkan batik cap dan batik tulis sama seperti yang diproduksi perajin batik di Solo," kata salah satu perajin batik di kawasan Kampung Batik Laweyan Solo Alpha Fabela Priyatmono saat ditemui di kediamannya, Senin (19/4).

Untuk itu, kekhawatiran sudah mengarah pada kenyataan tidak hanya pengusaha batik cetak saja yang akan terkena imbas, tetapi juga batik tulis. Apalagi, menurut Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan ini, jumlah perajin batik di Kota Solo tidak bertambah. Sementara jumlah pedagang semakin bertambah.

"Akibat jumlah perajinyang tetap, maka angka produksi juga tidak berubah. Sementara juga pedagang terus bertambah dan mereka pasti menjual produk yang harganya lebih murah. Saat ini di Kampung Batik Laweyan jumlah perajin hanya sebanyak 20-an orang, ditambah perajin di wilayah sekitar yang hanya 60-an orang," tuturnya

Tekstil dengan motif batik dari China saat ini juga sudah banyak ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan di Kota Solo, misalnya di Pasar Klewer serta Pusat Grosir Solo (PCS). Harganya pun lebih murah. Sementara masyarakat (konsumen) tidak bisa membedakan mana batik asli Indonesia dengan produk dari China.

"Identitas sangat penting. Sebab, upaya untuk mengantisipasi persaingan yang kian ketat seiring pemberlakuan CAFTA nyaris tidak ada solusi. Apalagi kalau perajin batik di Solo dibandingkan dengan produsen tekstil di China, pasti kalah, baik secara modal maupun tingkat produksinya," ujar pemilik usaha Batik Mahkota ini.

Saat ini, sebagian produksi batik Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor, seperti kain sutra dan zat perwama khusus. Sayangnya jika beralih dengan menggunakan pewarna alami, justru biaya produksi akan lebih mahal karena harus mengolah terlebih dahulu bahan bakuyang ada untuk dijadikan pewarna alami.

Hal yang sama juga dikatakan pemilik usaha Batik Merak Manis Solo, Bambang Slameto. Menurut dia, serangan produk tekstil dari luar negeri sebenarnya tidak hanya berasal dari China, tetapi juga dari India dan Taiwan.

Sedangkan menurut salah satu. pedagang batik di Pasar Klewer, Siti Fatimah, batik dari Solo sampai saat ini masih digemari dibanding baju dari China. "Kalau di sini yang paling laku memang batik Solo atau Pekalongan. Kalau baju dari China, justru yang bukan produk bermotif batik, tapi baju biasa," ujarnya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar